Perbedaan rasa yang tersaji di dalam secangkir kopi ternyata bukanlah sebuah misteri. Proses panjang telah dilalui untuk memperoleh rasa kopi yang enak. Dimulai dari proses penanaman, tingkat ketinggian tanaman akan sangat berpengaruh terhadap rasa kopi itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa elevasi atau tingkat ketinggian wilayah akan memberikan pengaruh langsung kepada biji yang dihasilkan, baik dari segi ukuran, bentuk, maupun rasa kopi yang nanti akan dikonsumsi. Misal jenis arabika yang umumnya lebih suka tumbuh di wilayah dengan ketinggian sekitar 800-1,900 mdpl dengan kondisi iklim yang sejuk dan dingin. Lalu ada robusta, ia memang bisa tumbuh di segala level ketinggian, tapi biasanya robusta lebih suka tumbuh di wilayah dengan ketinggian di bawah 800 mdpl dengan kondisi iklim yang cenderung hangat.
Dari segi ini saja, petani baru bisa memutuskan jenis kopi apa yang mereka hasilkan. Namun, tingkat elevasi atau ketinggian tanam itu hanyalah satu dari berderet faktor yang memengaruhi rasa kopi. Perbedaan rasa itu juga berpengaruh ada proses penyajian kopi itu sendiri, seperti pengolahan kopi, roasting, sampai cara penyeduhannya.
Perjalanan panjang itulah yang akan menghasilkan kopi spesialti, sebutan yang umum dipakai untuk menyebut kopi “gourmet” atau “premium”. Kopi spesialti adalah sebuah perjalanan dan proses panjang yang melibatkan banyak pihak. Spesialti sendiri bukanlah hanya tentang sebuah jenis kopi, tapi sebuah hasil yang ada di dalam siklus, mulai dari penanaman, sampai akhirnya disajikan, semua komponen yang saling berhubungan inilah yang membentuk rantai kopi spesialti.
“Kopi yang memiliki cita rasa baik itu berasal dari penanaman, panen, dikelola barista, dan semua proses itu dikelola oleh orang yang teredukasi sehingga bisa menghasilkan specialty coffe,” ujar Ketua Asosiasi Kopi Spesial Indonesia A. Syafrudin saat berdiskusi bersama Asumsi.co di Kantor Sabani, Jakarta Timur.
Kopi spesial adalah segmen industri kopi yang paling cepat pertumbuhannya. Di Amerika Serikat saja, kehadiran kopi spesial berhasil meningkatkan pangsa pasar dari 1% menjadi 20% dalam 25 tahun terakhir. Untuk mempromosikan dan meregulasi sendiri industri ini, para petani, eksportir, pemanggang, pengecer, dan penyedia perlengkapan telah mendirikan sejumlah asosiasi dagang. Asosiasi ini berdiri baik di negara konsumen kopi maupun negara produsennya.
Setidaknya itulah yang melatarbelakangi hadirnya Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI). Didirikan pada tahun 2008 beberapa kelompok petani kopi Indonesia, eksportir, roaster, dan pengecer sepakat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kopi.
Dengan tagline “Excellent in Diversity” atau unggul dalam keanekaragaman, SCAI hadir untuk menjadi wadah sebagai mediator sekaligus fasilitator untuk semua anggota, agar menghasilkan pendapatan dan kehidupan yang lebih baik dari keragaman cita rasa lopi Indonesia.
Saat Tim Asumsi.co datang menemui Syafrudin misalnya, ia ternyata baru selesai memberikan kiat-kiat khusus untuk salah satu produsen kopi terbesar di Indonesia. Sebagai organisasi lintas profesi di bidang kopi, kata Syafrudin, SCAI memang kerap kali memberikan saran serta bantuan, mulai riset, pemberian edukasi, sampai ke tahap promosi dan mem-blowup. Sebab pria kelahiran Plaju, Sumatera Selatan itu percaya bahwa kunci meningkatkan kualitas dan kuantitas kopi adalah edukasi.
“Tanah di Indonesia sangat ideal, jadi lahan, atau soil, atau tempat tumbuh kopi itu sangat ideal di Indonesia, hanya saja banyak faktor hambatan untuk menjadikan Indonesia pada tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Maka penting bagi petani agar bekerja lebih baik dan mengikuti arahan dari para penyuluh atau edukator,” ujarnya.
Sebagai Q Grader bersertifikat yang mampu mengevaluasi keseluruhan dari atribut yang terdapat dalam kopi, Syafrudin mengakui bahwa proses yang harus diikuti mulai dari penanaman sampai cupping bukanlah proses yang singkat. Namun, ia yakini bahwa semua itu bisa menjadikan kulitas produksi kopi akan semakin membaik.
“Hari ke hari yang kita lihat sekarang alhamdulillah, pruduksi kopi Indonesia semakin meningkat walaupun jumlah persentasinya kecil. Namun perubahan itu bisa terjadi karena memang di situ ada serapan edukasi yang diterima oleh petani kopi,” ungkap Syafrudin.